Malapetaka Kolektif Makan Bergizi Gratis

4 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Siswa SMP PGRI Cianjur diduga korban keracunan makanan makan bergizi gratis menjalani perawatan di ruang instalasi gawat darurat RSUD Sayang, Cianjur, Jawa Barat, 22 April 2025. Tempo/Deden Abdul Aziz
Iklan

Program makan bergizi berujung tragedi. Ribuan anak keracunan, pejabat abai, negara kehilangan rasa pada derita rakyatnya.

***

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) dirancang untuk menjadi kebanggaan pemerintah. Ia dijual ke publik sebagai simbol kepedulian negara terhadap anak-anak miskin. Namun pada awal Oktober 2025, Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat lebih dari sepuluh ribu kasus keracunan yang terkait dengan program ini. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) melaporkan 9.089 kasus, sementara Badan Gizi Nasional (BGN) mencatat 6.517. Perbedaan data antar lembaga justru menegaskan satu hal: pemerintah kehilangan kendali atas program yang ia ciptakan sendiri.

Krisis ini bukan soal makanan basi atau sanitasi dapur yang buruk. Ia adalah gejala dari penyakit lama birokrasi: ketergesaan dalam meluncurkan proyek populis tanpa kesiapan struktural dan pengawasan yang memadai. Negara berlari untuk tampil baik di hadapan rakyat, tetapi lupa memeriksa apakah jalannya benar.

Presiden Prabowo Subianto sempat menyebut korban MBG hanya 0,00017 persen dari total penerima manfaat. Secara matematis, itu angka kecil. Secara moral, itu kalimat yang dingin. Ketika penderitaan ribuan anak direduksi menjadi statistik, kekuasaan telah berhenti menjadi pelindung dan berubah menjadi pengelola angka. Di sinilah politik kehilangan kemanusiaannya.

Angka digunakan untuk menenangkan, bukan untuk menyembuhkan. Padahal setiap anak yang sakit akibat makanan negara adalah cermin dari kegagalan pemerintah dalam memenuhi janji paling dasar: menjaga hidup warganya. Logika statistik ini menandakan betapa jauh jarak antara pemimpin dan rakyat. Negara menjadi aparat kalkulasi, bukan institusi empati.

Sikap banal itu menular ke pejabat di bawahnya. Gubernur Jawa Tengah Ahmad Luthfi dengan ringan berkata, “Perutnya cuma kaget, gak usah dibesarkan,” ketika menghadapi ribuan anak keracunan di wilayahnya. Kalimat itu menunjukkan betapa normalnya penderitaan di mata kekuasaan. Ketika tragedi dianggap remeh, politik telah berubah menjadi administrasi yang kehilangan rasa.

Hal serupa tampak pada Deputi BGN Tigor Pangaribuan yang memilih mengacungkan jempol saat ditanya wartawan soal penanganan kasus. Gestur itu, yang mungkin dianggap sepele, memperlihatkan birokrasi yang anti akuntabilitas. Dalam negara demokratis, pejabat yang menolak bicara di tengah krisis sama buruknya dengan pejabat yang berbohong. Keduanya sama-sama menutup akses rakyat terhadap kebenaran.

Bahkan Menteri HAM Natalius Pigai ikut menambah luka publik ketika menyatakan bahwa kasus keracunan massal bukan pelanggaran HAM. Pernyataan ini memperlihatkan betapa sempitnya tafsir pemerintah atas hak asasi. Hak untuk hidup sehat dan aman bukan tambahan, melainkan fondasi dari hak asasi manusia itu sendiri. Negara yang abai terhadap kesehatan warganya telah melanggar HAM, tidak peduli seberapa administratif bentuk kelalaiannya.

Program MBG memperlihatkan bagaimana populisme bisa berubah menjadi bumerang. Dalam teori politik, populisme kerap menonjolkan kedekatan simbolik antara pemimpin dan rakyat. Tapi tanpa kontrol publik, ia mudah bergeser menjadi alat legitimasi. Negara terlihat dekat, tapi sesungguhnya jauh. MBG dijalankan secara sentralistik: bahan makanan, dapur, hingga mekanisme distribusi ditentukan dari pusat. Warga hanya menjadi penerima, bukan pengawas.

Ketika kontrol sosial hilang, ruang kosong itu segera diisi oleh kepentingan ekonomi dan politik. Pengadaan makanan bergizi berubah menjadi proyek besar yang menguntungkan sebagian pihak. Dalam rantai panjang pengadaan dan distribusi itu, setiap tangan ingin mengambil bagian. Demi efisiensi biaya dan target waktu, kualitas makanan dikorbankan. Maka terjadilah kontradiksi klasik: program untuk kesejahteraan rakyat justru membahayakan rakyat itu sendiri.

Pemerintah sering menutup mata terhadap kontradiksi ini. Mereka sibuk menambal di ujung dapur, padahal sumber kerusakan ada di struktur pengadaan. Ketika proyek sosial dijalankan dengan logika pasar, nyawa manusia hanya menjadi biaya sampingan. Begitu ada korban, birokrasi akan menuduh kelalaian teknis, lalu membuat tim evaluasi, tanpa menyentuh akar masalah: sistem yang memungkinkan akumulasi keuntungan di atas penderitaan publik.

Krisis MBG adalah titik balik. Ia menunjukkan rapuhnya kepercayaan publik terhadap pemerintah. Rakyat tidak marah karena makanan basi; rakyat marah karena diremehkan. Mereka tidak butuh angka, mereka butuh pengakuan. Dalam demokrasi, kehilangan kepercayaan jauh lebih fatal daripada kehilangan suara. Sebab kepercayaan adalah dasar dari legitimasi kekuasaan.

Evaluasi MBG tidak bisa berhenti pada audit administrasi. Pemerintah perlu membuka seluruh rantai pengadaan, distribusi, dan pengawasan kepada publik. Rakyat harus tahu siapa penyedia bahan pangan, berapa biaya per porsi, dan bagaimana standar kualitas dijaga. Transparansi bukan sekadar kewajiban hukum, melainkan bentuk penghormatan terhadap rakyat sebagai pemilik negara.

Lebih dari itu, pemerintah harus berani menyerahkan sebagian kendali program kepada komunitas lokal. Sekolah, koperasi, dan kelompok ibu-ibu desa bisa dilibatkan dalam penyediaan makanan. Pendekatan ini bukan hanya memperbaiki kualitas, tapi juga menghidupkan ekonomi rakyat. Ketahanan pangan tidak bisa dibangun di atas ketergantungan. Ia hanya bisa tumbuh jika rakyat memiliki kontrol atas apa yang mereka makan.

Kita perlu mengingat kembali makna dasar dari politik sosial: menjamin kehidupan manusia, bukan mempercantik laporan pemerintahan. Program MBG seharusnya menjadi simbol keadilan, bukan bencana yang diselimuti angka. Pemerintah boleh kuat, tapi kekuatan tanpa empati adalah kekuasaan yang kehilangan nurani.

Tragedi MBG bukan sekadar kegagalan dapur, melainkan kegagalan moral negara. Anak-anak yang terbaring di rumah sakit adalah bukti bahwa proyek populis tanpa pengawasan publik hanya melahirkan kesia-siaan. Negara bisa membangun jalan, gedung, dan stadion, tapi semua itu tidak berarti jika ia gagal memastikan satu hal paling sederhana: makanan yang aman bagi rakyatnya sendiri.

Dan dari kegagalan sederhana itulah, kepercayaan rakyat bisa runtuh.

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler